Senin, 20 Juli 2009

Kompas - Bali Bukan California



Minggu, 19 Juli 2009 | 03:32 WIB
Budi Suwarna
”More! More! More!” Teriak puluhan penonton meminta Superman Is Dead (SID) menyanyikan lagi beberapa lagu. Ini bukan terjadi di konser SID di Indonesia, melainkan di arena Warped Tour 2009 di Time Warner Cable Amphitheatre di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.

Sayang SID tidak bisa memenuhi permintaan mereka karena jatah manggungnya selama 20 menit sudah berakhir. Sambil turun panggung, vokalis SID, Bobby Kool, berteriak, ”Kamu bisa mendengarkan CD album kami.”

Sebagian penonton pun mendatangi personel SID di belakang panggung, berbincang, kemudian membeli CD album SID. Mereka juga meminta tanda tangan dan foto bersama SID.

Selain di Cleveland, kata Eka Rock, SID juga mendapat sambutan meriah di Indianapolis dan Las Cruces. Di Las Cruces, SID bahkan bisa memancing penonton untuk moshing atau saling mendorong dan saling mengempaskan tubuh di tengah massa ketika SID main.

Di kota-kota lain, penampilan SID umumnya hanya ditonton rata-rata 30 orang. Itu masih bagus. Banyak band lain yang hanya ditonton sekitar 10 orang.

Di ajang ini, band yang belum punya nama memang harus bersaing langsung dengan band tenar, seperti Bad Religion, NOFX, Anti Flag, dan A Day to Remember, merebut penonton. Di Pittsburgh, misalnya, SID harus bermain pada waktu yang hampir bersamaan dengan NOFX dan Anti Flag. Panggung mereka pun hanya berjarak masing-masing 30-an meter. Bisa ditebak, penonton lebih melirik NOFX dan Anti Flag.

Agar ditonton banyak orang, personel band yang belum punya nama harus promosi keliling arena Warped Tour sambil membawa papan bertuliskan nama bandnya dan jadwal manggung hari itu. Ada pula yang mengecat nama band mereka di aspal di lokasi-lokasi strategis atau membagi selebaran.

Personel SID berusaha memikat perhatian dengan berputar-putar arena Warped Tour mengenakan kain kotak-kotak dan penutup kepala khas Bali. Di tengah kerumunan massa, mereka berteriak, ”We are from Bali, Indonesia.”

Hasilnya? Mereka menemukan beberapa orang yang sudah tahu SID dari situs Myspace. Sebaliknya, mereka pun menemukan beberapa orang yang jangankan tahu SID, tahu Bali dan Indonesia saja tidak. Di California, misalnya, seorang pengunjung Warped Tour bertanya, ”Apakah Anda orang Meksiko?”

”Bukan. Kami dari Bali.”
”Oh, Bali (dia melafalkannya ballay). Apakah itu suatu tempat di California?”

(Gubrak!!!)

Pada akhirnya, para personel SID harus menjadi ”duta bangsa” yang tidak hanya menjelaskan musiknya, melainkan juga letak Indonesia di peta dunia. Kemudian, SID memberikan gambaran bahwa Bali itu Pulau Dewata yang indah-permai, gemah ripah loh jinawi. Untungnya, mereka tidak banyak bertanya soal teror bom di Indonesia.

Hemat

Bagaimana SID bisa bermain di festival punk terbesar di dunia ini? Jerinx, drumer SID, mengatakan, mereka direkomendasikan NOFX yang mereka kenal ketika band itu konser di Bali tahun 2007. Saat itu, SID menjadi band pembuka konser NOFX.

Apa makna tur ini bagi SID? Jerinx mengatakan, tur ini memberi pengalaman yang sangat berarti. ”Kami sekarang tahu bagaimana cara bersaing dengan band-band lain, bagaimana cara tampil di festival sebesar Warped,” ujarnya.

Di ajang Warped Tour kali ini, SID menjadi satu-satunya band dari Asia. Dalam sejarah Warped Tour yang dimulai tahun 1994, selain SID, baru ada dua band asal China dan Jepang yang bisa tampil di sini.

SID tampil di 11 dari 47 kota di AS dan Kanada. Penampilan perdana mereka dimulai di beberapa kota di California yang berada di pantai barat AS. Mereka kemudian bergerak ke Arizona di selatan, New Mexico di tengah, Texas, Indianapolis, terus bergerak ke pantai timur ke Ohio dan Pennsylvania. Dengan demikian, perjalanan SID bisa dikatakan membelah AS dari pantai barat ke timur yang kalau menggunakan pesawat bisa berjam-jam.

Tapi, SID tidak menggunakan pesawat. Mereka memakai mobil van sewaan yang disesaki tujuh penumpang ditambah peralatan band dan tas-tas besar. Perjalanan ini memang jauh dari mewah. Modal untuk tur di AS yang diperoleh SID dari sponsor, menurut Bobby, tidak lebih dari Rp 250 juta. Sementara honor setiap tampil di Warped Tour hanya 250 dollar AS dipotong pajak 30 persen.

Uang itu harus dicukup-cukupkan untuk menutup semua pengeluaran SID selama mengikuti Warped Tour dari 26 Juni-9 Juli yang dilanjutkan dengan konser From Bali With Rock di enam kota di AS hingga akhir Juli nanti.

Karena itu, mereka benar-benar hemat. Mereka, misalnya, hanya menyewa satu kamar hotel untuk tujuh orang. ”Pokoknya gila deh,” kata Boby, Jumat (10/7), ketika berbincang-bincang di Washington DC.

Bebas

Di Indonesia, nama SID kini sedang melambung tinggi. Lagunya, ”Jika Kami Bersama”, belakangan ini sering diputar di layar televisi dan radio. Namun, jauh sebelum lagu itu keluar, SID yang dibentuk tahun 1995 telah malang melintang di sejumlah gig atau panggung indie. Mereka juga sempat merilis tiga album indie tahun 1997, 1999, dan 2002.

Tahun 2003, SID bergabung dengan label Sony Music Indonesia dan menelurkan album Kuta Rock City. Lewat dua lagu andalan, ”Kuta Rock City” dan ”Punk Hari Ini”, mereka langsung disejajarkan dengan grup-grup rock mapan Indonesia. Masih bersama Sony, tahun 2004, 2006, dan 2009 SID berturut-turut merilis album The Hangover Decade, Blackmarket Love, dan Angles and The Outsiders.

Bersamaan dengan itu, komunitas penggemar SID, Outsiders, pun terbentuk di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Bandung, Bali, dan Jakarta.

Meski bergabung dengan label utama, SID tidak banyak berubah. Musik mereka tetap garang dan lirik lagunya masih menyuarakan kepentingan kaum marjinal, mengecam kesewenang-wenangan politik, dan kemarahan alam. Buat SID, lanjut Jerinx, musisi harus memiliki keberpihakan pada yang lemah.

Citra SID sebagai band yang garang, kasar, dan berandalan juga tetap melekat meski sebenarnya para personel SID dalam keseharian ternyata amat santun dan gaya hidupnya sangat biasa. Eka yang asli Negara, Bali, dan bernama asli I Made Eka Arsana (34), rajin minum susu; Jerinx atau I Gede Ari Astina (32) berusaha menjadi vegetarian; Bobby atau I Made Putra Budi Sartika (32) jarang merokok.

Minggu, 19 Juli 2009

Kompas - Festival Punk Minus Pesan


Minggu, 19 Juli 2009 | 03:35 WIB
Budi Suwarna
Ribuan orang—sebagian berpenampilan ”nyeleneh”—berkumpul di padang rumput luas di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sambil menenggak minuman, mereka hanyut dalam musik bising yang disajikan puluhan band punk, termasuk Superman Is Dead dari Indonesia. Inilah salah satu rangkaian tur festival punk yang diklaim terbesar di dunia.


Festival itu resminya bernama Vans Warped Tour 2009. Tahun ini, festival tersebut diadakan maraton di 47 kota di AS dan Kanada sejak 2 April hingga 28 Agustus nanti. Kami sempat menyaksikan dua rangkaian Warped Tour yang digelar di Pittsburgh, Rabu (8/7), dan di Cleveland, Kamis (9/7).

Suasana yang tertangkap nyaris sama. Di Post Gazette, Pittsburgh, tempat festival berlangsung, anak-anak muda datang dengan dandanan yang tidak lumrah untuk ukuran umum. Gadis-gadis remaja memakai tank top dengan celana super pendek bertuliskan ”Girls Don’t Poop” tepat di bagian (maaf) bokongnya. Rambutnya dicat merah, biru, hijau, atau kuning. Bibir dan daun telinganya ditindik.

Sebagian remaja laki-laki tampil dengan gaya khas anak punk. Rambut mohawk, tato, celana kulit dengan gesper logam dan rantai berjuntai-juntai, serta peniti yang ditancapkan di dada atau bibir.

Penampilan nyeleneh, serba beda, dan provokatif seperti itu memang menjadi bagian dari kultur punk. Itu adalah sebuah tanda pemberontakan terhadap nilai-nilai dominan. Sebuah subversi atas sistem ketertiban. Sinyal pemberontakan lainnya tampil dalam bentuk musik yang bising, penuh emosi, dan lirik yang cenderung subversif.

Tengoklah penampilan Jeffree Star, penyanyi asal AS, di Smartpunk Stage, yang seperti menjungkirbalikkan batas-batas gender. Penyanyi gay yang juga model dan perancang ini mengecat rambutnya dengan warna terang dan berdandan medok. Dia mengenakan stoking jaring-jaring, rok di atas dengkul, dan baju ketat. Gerakannya amat gemulai, tetapi suaranya menggelegar diiringi musik hibrid elektronik-hip hop-disko yang mengentak dan bising.

Dia juga menyertakan dua penari latar. Seorang laki-laki amat gemulai dan seorang perempuan yang tubuhnya amat montok dengan gerakan patah-patah dan bertenaga.

Meski tak jelas apa yang Jeffree nyanyikan—karena yang terdengar hanya desahan, teriakan penuh emosi, dan kata-kata f**k you—aksinya mampu merebut perhatian sekitar 1.000 penonton. Mereka hanyut dalam entakkan musik bising. Sebagian saling dorong di antara sesama atau berguling-guling di atas kepala ribuan penonton lain.

Di panggung utama, NOFX, band punk asal California (sekarang berbasis di San Franscisco) juga melakukan hal yang sama. Mereka mengajak sekitar 2.000 penonton bertekad melawan perang serta menciptakan perdamaian.

”Ayo angkat satu tanganmu dan berjanjilah untuk perdamaian,” ujar vokalis dan basis NOFX, Fat Mike. Penonton mengikuti seruan Mike dan ketika itulah musik mengentak.

Band asal AS itu belakangan memang getol mengecam kebijakan perang (mantan) Presiden AS George W Bush. NOFX pada tahun 2003, misalnya, merilis album The War on Errorism untuk mengejek keputusan Bush yang berperang ke Irak dengan alasan yang terbukti salah. Tahun itu juga mereka menggelar tur Rock Against Bush.

Selain NOFX, band ternama lainnya yang hadir di Warped Tour kali ini, antara lain, adalah Anti Flag, Bad Religion, A Day to Remember, dan A Rocket to The Moon.

Superman Is Dead

Di antara kepungan band punk ternama, ada Superman Is Dead (SID). Band punk asal Bali ini menjadi satu-satunya band Asia yang hadir di Warped Tour 2009. Di Post Gazette, SID tampil sekitar pukul 15.00 di Kevin Says Stage, bersamaan dengan jadwal manggung NOFX dan Anti Flag.

Bisa ditebak, penonton hampir tidak melirik band yang di Indonesia namanya sedang melambung lewat tembang ”Jika Kami Bersama”. Ketika SID mulai beraksi, hanya ada sekitar 10 penonton di depan panggung.

”Heeeeeyyy, we are from Bali, Indonesia,” teriak Eka Rock, pemain pemain bas SID, mencoba menarik perhatian penonton yang lalu lalang di tengah arena Warped Tour. Tanpa banyak basa-basi, Eka Rock, Bobby Kool (vokalis), dan Jerinx (drumer) langsung menggebrak dengan lagu ”Year of the Danger” yang liriknya berisi kemarahan atas teror bom di Bali.

Ketika menyanyikan lagu ini, Bobby terlihat amat emosional sebab beberapa lokasi yang terkena ledakan bom di Bali tidak lain adalah tempat dia nongkrong. Mungkin, dia akan lebih emosional lagi jika—waktu itu—dia tahu teror bom masih akan berlanjut di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7) pagi.

Lewat gebrakan pertama ini, SID berhasil menarik beberapa penonton. Mereka mulai bertanya, ”Ini band dari mana?” Pada lagu berikutnya, ”Goodbye Whiskey” dan ”Vodkabilly”, semakin banyak penonton yang tertarik. Ketika SID menyelesaikan penampilannya dengan ”Kuta Rock City”, penonton yang bertahan mencapai 40-an orang.

Hasil ini tidak buruk sebab band-band dari luar AS—termasuk The Blackout asal Inggris yang cukup punya nama—juga tidak mampu menyedot penonton AS dalam jumlah besar. SID pun masih bisa terhibur sebab seusai tampil ada dua anak muda yang mendatangi SID dan memuji penampilannya setinggi langit.

”You guys got more skill than Green Day,” katanya, kemudian meminta foto bersama dan membeli CD album SID.

Kedua anak muda asal Pittsburgh itu bernama Josh (18) dan Vinnie (17). Mereka mengaku baru pertama kali mendengar lagu dan menyaksikan penampilan SID. ”Saya langsung suka. Kalau band ini asal AS, saya kira mereka akan segera populer,” ujar Josh.

Eka Rock mengatakan, SID sudah berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian penonton. ”Lumayan banyak juga yang lihat. Kami realistis aja, di sini SID enggak dikenal. Bahkan, orang tidak tahu Bali dan Indonesia,” katanya.

Juru bicara

Apa yang disuarakan band punk yang tampil di Warped Tour 2009 rasanya masih tetap aktual dengan kondisi saat ini ketika dunia masih dalam cengkeraman hegemoni beberapa gelintir negara, ancaman perang masih nyata, dan jurang perbedaan kian menganga.

Untuk konteks Indonesia, apa yang disampaikan SID lewat lagu ”Years of the Danger”, seperti mewakili kemarahan bangsa Indonesia terhadap para teroris yang meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama.

Sayangnya, pesan yang disampaikan band-band punk itu jadi terkesan basa-basi. Mengapa? Karena Warped Tour kali ini tidak memiliki pesan yang jelas. Satu-satunya pernyataan yang muncul adalah bahwa festival tersebut ramah lingkungan karena menggunakan energi matahari.

Pada akhirnya, festival ini menjadi sekadar perayaan dan hura-hura anak punk.