Minggu, 19 Juli 2009 | 03:35 WIB
Budi Suwarna
Ribuan orang—sebagian berpenampilan ”nyeleneh”—berkumpul di padang rumput luas di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sambil menenggak minuman, mereka hanyut dalam musik bising yang disajikan puluhan band punk, termasuk Superman Is Dead dari Indonesia. Inilah salah satu rangkaian tur festival punk yang diklaim terbesar di dunia.
Festival itu resminya bernama Vans Warped Tour 2009. Tahun ini, festival tersebut diadakan maraton di 47 kota di AS dan Kanada sejak 2 April hingga 28 Agustus nanti. Kami sempat menyaksikan dua rangkaian Warped Tour yang digelar di Pittsburgh, Rabu (8/7), dan di Cleveland, Kamis (9/7).
Suasana yang tertangkap nyaris sama. Di Post Gazette, Pittsburgh, tempat festival berlangsung, anak-anak muda datang dengan dandanan yang tidak lumrah untuk ukuran umum. Gadis-gadis remaja memakai tank top dengan celana super pendek bertuliskan ”Girls Don’t Poop” tepat di bagian (maaf) bokongnya. Rambutnya dicat merah, biru, hijau, atau kuning. Bibir dan daun telinganya ditindik.
Sebagian remaja laki-laki tampil dengan gaya khas anak punk. Rambut mohawk, tato, celana kulit dengan gesper logam dan rantai berjuntai-juntai, serta peniti yang ditancapkan di dada atau bibir.
Penampilan nyeleneh, serba beda, dan provokatif seperti itu memang menjadi bagian dari kultur punk. Itu adalah sebuah tanda pemberontakan terhadap nilai-nilai dominan. Sebuah subversi atas sistem ketertiban. Sinyal pemberontakan lainnya tampil dalam bentuk musik yang bising, penuh emosi, dan lirik yang cenderung subversif.
Tengoklah penampilan Jeffree Star, penyanyi asal AS, di Smartpunk Stage, yang seperti menjungkirbalikkan batas-batas gender. Penyanyi gay yang juga model dan perancang ini mengecat rambutnya dengan warna terang dan berdandan medok. Dia mengenakan stoking jaring-jaring, rok di atas dengkul, dan baju ketat. Gerakannya amat gemulai, tetapi suaranya menggelegar diiringi musik hibrid elektronik-hip hop-disko yang mengentak dan bising.
Dia juga menyertakan dua penari latar. Seorang laki-laki amat gemulai dan seorang perempuan yang tubuhnya amat montok dengan gerakan patah-patah dan bertenaga.
Meski tak jelas apa yang Jeffree nyanyikan—karena yang terdengar hanya desahan, teriakan penuh emosi, dan kata-kata f**k you—aksinya mampu merebut perhatian sekitar 1.000 penonton. Mereka hanyut dalam entakkan musik bising. Sebagian saling dorong di antara sesama atau berguling-guling di atas kepala ribuan penonton lain.
Di panggung utama, NOFX, band punk asal California (sekarang berbasis di San Franscisco) juga melakukan hal yang sama. Mereka mengajak sekitar 2.000 penonton bertekad melawan perang serta menciptakan perdamaian.
”Ayo angkat satu tanganmu dan berjanjilah untuk perdamaian,” ujar vokalis dan basis NOFX, Fat Mike. Penonton mengikuti seruan Mike dan ketika itulah musik mengentak.
Band asal AS itu belakangan memang getol mengecam kebijakan perang (mantan) Presiden AS George W Bush. NOFX pada tahun 2003, misalnya, merilis album The War on Errorism untuk mengejek keputusan Bush yang berperang ke Irak dengan alasan yang terbukti salah. Tahun itu juga mereka menggelar tur Rock Against Bush.
Selain NOFX, band ternama lainnya yang hadir di Warped Tour kali ini, antara lain, adalah Anti Flag, Bad Religion, A Day to Remember, dan A Rocket to The Moon.
Superman Is Dead
Di antara kepungan band punk ternama, ada Superman Is Dead (SID). Band punk asal Bali ini menjadi satu-satunya band Asia yang hadir di Warped Tour 2009. Di Post Gazette, SID tampil sekitar pukul 15.00 di Kevin Says Stage, bersamaan dengan jadwal manggung NOFX dan Anti Flag.
Bisa ditebak, penonton hampir tidak melirik band yang di Indonesia namanya sedang melambung lewat tembang ”Jika Kami Bersama”. Ketika SID mulai beraksi, hanya ada sekitar 10 penonton di depan panggung.
”Heeeeeyyy, we are from Bali, Indonesia,” teriak Eka Rock, pemain pemain bas SID, mencoba menarik perhatian penonton yang lalu lalang di tengah arena Warped Tour. Tanpa banyak basa-basi, Eka Rock, Bobby Kool (vokalis), dan Jerinx (drumer) langsung menggebrak dengan lagu ”Year of the Danger” yang liriknya berisi kemarahan atas teror bom di Bali.
Ketika menyanyikan lagu ini, Bobby terlihat amat emosional sebab beberapa lokasi yang terkena ledakan bom di Bali tidak lain adalah tempat dia nongkrong. Mungkin, dia akan lebih emosional lagi jika—waktu itu—dia tahu teror bom masih akan berlanjut di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7) pagi.
Lewat gebrakan pertama ini, SID berhasil menarik beberapa penonton. Mereka mulai bertanya, ”Ini band dari mana?” Pada lagu berikutnya, ”Goodbye Whiskey” dan ”Vodkabilly”, semakin banyak penonton yang tertarik. Ketika SID menyelesaikan penampilannya dengan ”Kuta Rock City”, penonton yang bertahan mencapai 40-an orang.
Hasil ini tidak buruk sebab band-band dari luar AS—termasuk The Blackout asal Inggris yang cukup punya nama—juga tidak mampu menyedot penonton AS dalam jumlah besar. SID pun masih bisa terhibur sebab seusai tampil ada dua anak muda yang mendatangi SID dan memuji penampilannya setinggi langit.
”You guys got more skill than Green Day,” katanya, kemudian meminta foto bersama dan membeli CD album SID.
Kedua anak muda asal Pittsburgh itu bernama Josh (18) dan Vinnie (17). Mereka mengaku baru pertama kali mendengar lagu dan menyaksikan penampilan SID. ”Saya langsung suka. Kalau band ini asal AS, saya kira mereka akan segera populer,” ujar Josh.
Eka Rock mengatakan, SID sudah berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian penonton. ”Lumayan banyak juga yang lihat. Kami realistis aja, di sini SID enggak dikenal. Bahkan, orang tidak tahu Bali dan Indonesia,” katanya.
Juru bicara
Apa yang disuarakan band punk yang tampil di Warped Tour 2009 rasanya masih tetap aktual dengan kondisi saat ini ketika dunia masih dalam cengkeraman hegemoni beberapa gelintir negara, ancaman perang masih nyata, dan jurang perbedaan kian menganga.
Untuk konteks Indonesia, apa yang disampaikan SID lewat lagu ”Years of the Danger”, seperti mewakili kemarahan bangsa Indonesia terhadap para teroris yang meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama.
Sayangnya, pesan yang disampaikan band-band punk itu jadi terkesan basa-basi. Mengapa? Karena Warped Tour kali ini tidak memiliki pesan yang jelas. Satu-satunya pernyataan yang muncul adalah bahwa festival tersebut ramah lingkungan karena menggunakan energi matahari.
Pada akhirnya, festival ini menjadi sekadar perayaan dan hura-hura anak punk.
Budi Suwarna
Ribuan orang—sebagian berpenampilan ”nyeleneh”—berkumpul di padang rumput luas di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sambil menenggak minuman, mereka hanyut dalam musik bising yang disajikan puluhan band punk, termasuk Superman Is Dead dari Indonesia. Inilah salah satu rangkaian tur festival punk yang diklaim terbesar di dunia.
Festival itu resminya bernama Vans Warped Tour 2009. Tahun ini, festival tersebut diadakan maraton di 47 kota di AS dan Kanada sejak 2 April hingga 28 Agustus nanti. Kami sempat menyaksikan dua rangkaian Warped Tour yang digelar di Pittsburgh, Rabu (8/7), dan di Cleveland, Kamis (9/7).
Suasana yang tertangkap nyaris sama. Di Post Gazette, Pittsburgh, tempat festival berlangsung, anak-anak muda datang dengan dandanan yang tidak lumrah untuk ukuran umum. Gadis-gadis remaja memakai tank top dengan celana super pendek bertuliskan ”Girls Don’t Poop” tepat di bagian (maaf) bokongnya. Rambutnya dicat merah, biru, hijau, atau kuning. Bibir dan daun telinganya ditindik.
Sebagian remaja laki-laki tampil dengan gaya khas anak punk. Rambut mohawk, tato, celana kulit dengan gesper logam dan rantai berjuntai-juntai, serta peniti yang ditancapkan di dada atau bibir.
Penampilan nyeleneh, serba beda, dan provokatif seperti itu memang menjadi bagian dari kultur punk. Itu adalah sebuah tanda pemberontakan terhadap nilai-nilai dominan. Sebuah subversi atas sistem ketertiban. Sinyal pemberontakan lainnya tampil dalam bentuk musik yang bising, penuh emosi, dan lirik yang cenderung subversif.
Tengoklah penampilan Jeffree Star, penyanyi asal AS, di Smartpunk Stage, yang seperti menjungkirbalikkan batas-batas gender. Penyanyi gay yang juga model dan perancang ini mengecat rambutnya dengan warna terang dan berdandan medok. Dia mengenakan stoking jaring-jaring, rok di atas dengkul, dan baju ketat. Gerakannya amat gemulai, tetapi suaranya menggelegar diiringi musik hibrid elektronik-hip hop-disko yang mengentak dan bising.
Dia juga menyertakan dua penari latar. Seorang laki-laki amat gemulai dan seorang perempuan yang tubuhnya amat montok dengan gerakan patah-patah dan bertenaga.
Meski tak jelas apa yang Jeffree nyanyikan—karena yang terdengar hanya desahan, teriakan penuh emosi, dan kata-kata f**k you—aksinya mampu merebut perhatian sekitar 1.000 penonton. Mereka hanyut dalam entakkan musik bising. Sebagian saling dorong di antara sesama atau berguling-guling di atas kepala ribuan penonton lain.
Di panggung utama, NOFX, band punk asal California (sekarang berbasis di San Franscisco) juga melakukan hal yang sama. Mereka mengajak sekitar 2.000 penonton bertekad melawan perang serta menciptakan perdamaian.
”Ayo angkat satu tanganmu dan berjanjilah untuk perdamaian,” ujar vokalis dan basis NOFX, Fat Mike. Penonton mengikuti seruan Mike dan ketika itulah musik mengentak.
Band asal AS itu belakangan memang getol mengecam kebijakan perang (mantan) Presiden AS George W Bush. NOFX pada tahun 2003, misalnya, merilis album The War on Errorism untuk mengejek keputusan Bush yang berperang ke Irak dengan alasan yang terbukti salah. Tahun itu juga mereka menggelar tur Rock Against Bush.
Selain NOFX, band ternama lainnya yang hadir di Warped Tour kali ini, antara lain, adalah Anti Flag, Bad Religion, A Day to Remember, dan A Rocket to The Moon.
Superman Is Dead
Di antara kepungan band punk ternama, ada Superman Is Dead (SID). Band punk asal Bali ini menjadi satu-satunya band Asia yang hadir di Warped Tour 2009. Di Post Gazette, SID tampil sekitar pukul 15.00 di Kevin Says Stage, bersamaan dengan jadwal manggung NOFX dan Anti Flag.
Bisa ditebak, penonton hampir tidak melirik band yang di Indonesia namanya sedang melambung lewat tembang ”Jika Kami Bersama”. Ketika SID mulai beraksi, hanya ada sekitar 10 penonton di depan panggung.
”Heeeeeyyy, we are from Bali, Indonesia,” teriak Eka Rock, pemain pemain bas SID, mencoba menarik perhatian penonton yang lalu lalang di tengah arena Warped Tour. Tanpa banyak basa-basi, Eka Rock, Bobby Kool (vokalis), dan Jerinx (drumer) langsung menggebrak dengan lagu ”Year of the Danger” yang liriknya berisi kemarahan atas teror bom di Bali.
Ketika menyanyikan lagu ini, Bobby terlihat amat emosional sebab beberapa lokasi yang terkena ledakan bom di Bali tidak lain adalah tempat dia nongkrong. Mungkin, dia akan lebih emosional lagi jika—waktu itu—dia tahu teror bom masih akan berlanjut di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7) pagi.
Lewat gebrakan pertama ini, SID berhasil menarik beberapa penonton. Mereka mulai bertanya, ”Ini band dari mana?” Pada lagu berikutnya, ”Goodbye Whiskey” dan ”Vodkabilly”, semakin banyak penonton yang tertarik. Ketika SID menyelesaikan penampilannya dengan ”Kuta Rock City”, penonton yang bertahan mencapai 40-an orang.
Hasil ini tidak buruk sebab band-band dari luar AS—termasuk The Blackout asal Inggris yang cukup punya nama—juga tidak mampu menyedot penonton AS dalam jumlah besar. SID pun masih bisa terhibur sebab seusai tampil ada dua anak muda yang mendatangi SID dan memuji penampilannya setinggi langit.
”You guys got more skill than Green Day,” katanya, kemudian meminta foto bersama dan membeli CD album SID.
Kedua anak muda asal Pittsburgh itu bernama Josh (18) dan Vinnie (17). Mereka mengaku baru pertama kali mendengar lagu dan menyaksikan penampilan SID. ”Saya langsung suka. Kalau band ini asal AS, saya kira mereka akan segera populer,” ujar Josh.
Eka Rock mengatakan, SID sudah berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian penonton. ”Lumayan banyak juga yang lihat. Kami realistis aja, di sini SID enggak dikenal. Bahkan, orang tidak tahu Bali dan Indonesia,” katanya.
Juru bicara
Apa yang disuarakan band punk yang tampil di Warped Tour 2009 rasanya masih tetap aktual dengan kondisi saat ini ketika dunia masih dalam cengkeraman hegemoni beberapa gelintir negara, ancaman perang masih nyata, dan jurang perbedaan kian menganga.
Untuk konteks Indonesia, apa yang disampaikan SID lewat lagu ”Years of the Danger”, seperti mewakili kemarahan bangsa Indonesia terhadap para teroris yang meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama.
Sayangnya, pesan yang disampaikan band-band punk itu jadi terkesan basa-basi. Mengapa? Karena Warped Tour kali ini tidak memiliki pesan yang jelas. Satu-satunya pernyataan yang muncul adalah bahwa festival tersebut ramah lingkungan karena menggunakan energi matahari.
Pada akhirnya, festival ini menjadi sekadar perayaan dan hura-hura anak punk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar